Filosofi Gaplek


Sore hari, disebuah rumah bernuansa Jawa Barat, terdengar suara peraduan antara beberapa lembar kartu dengan permukaan meja. Seorang kakek dan seorang pria berkepala tiga nampak tengah duduk berhadapan ditemani masing-masing segelas kopi. Sang pria yang duduk di sebelah Utara hampir saja menyemburkan kopinya kala sang kakek menggebrak meja. Tanda selesainya acara mereka.

Ini, cep, sudah 30 lembar! Ingat ya, gelas kacanya yang warna putih bening, kalau yang ijo cepat retaknya.” Ujar sang kakek

menyodorkan 30 lembar kupon galon. Pria tersebut hanya mengangguk, “Ok, tunggu besok ya pak, Thank’s kopinya ya, see you.. Assalamualaikum Bang Kar... To.” Lantas pria tersebut melengus pergi tanpa mempedulikan Bang Karto alias sang kakek keren yang mendengus akibat ucapan terakhirnya.

Usai menjawab salam dari sang tukang galon keturunan Vancouver tersebut, Bang Karto mengalihkan pandangannya pada ke dua cucu kembarnya yang tengah asyik bermain dengan keong di teras sebelahnya.
Ayo Sinta! Jangan kalah sama punyanya si Angel!
Ayo Jojo! E-eh.. namaku Angelo, Mark, bukan Angel!
Kedua bocah berusia enam tahun tersebut bertengkar heboh hingga tidak menyadari bahwa keong mereka melarikan diri.
Eh, main-main sama hewan itu gak baik. Menyiksa hewan itu dosa, cu...” Nasihat sang kakek.

Bocah kembar itu mengangguk lugu. “Mark, Angelo sini. Makan gaplek sama kakek.” Ajak kakek keren tersebut sembari mengambil piring yang disodorkan sang istri. Sementara kini sang istri kembali menghilang dibalik pintu dapur, sibuk katanya.

Si kembar yang mendengar kata ‘makan’ tersebut langsung bergegas mencuci tangan. Setelah beberapa saat, mereka pun menghampiri meja bundar sang kakek dengan mata berbinar. Mark dan Angelo berjinjit untuk melihat makanan yang tersaji di piring tersebut.

Ini yang namanya gaplek, kek?” tanya Angelo.
Kok kedengarannya haram ya?” Mark mengimbuhi.
Itu gapleh, Mark. Begini ..” Bang Karto berdehem,
Dahulu saat masa penjajahan, rakyat Indonesia dilanda krisis yang cukup parah. Maka dari itu, mereka memilih gaplek sebagai makanan untuk bertahan hidup. Aplagi singkong itu mudah di tanam.
Oh, gitu ya...” Mark mengangguk-ngangguk.
Bentuknya mirip nan...” Angelo menatap gaplek tersebut tanpa berkedip.
Terus filosofi nya apa, kek?” Kompak mereka yang hampir menyebabkan sang kakek tersedak sendok kopinya.

Seingatnya baru kemarin mereka menanyakan filosofi kolak tahu bulat. Wajar juga sih, ayah mereka alias menantu Bang Karto kan terobsesi pada filosofi.

Pondasi terkuat Indonesia di mana rezim penjajahan bukanlah orang-orang yang intelektual, melainkan orang-orang yang bertaqwa. Sama seperti keberadaan gaplek tempo dulu, ulama dan para santri merupakan energi ditengah kekrisisan masyarakat. Ulama ibaratkan batang pohon singkog yang ditancapkan ditanah, dan para santri merupakan umbi akar yang tumbuh dibawahnya. Untuk membuat gaplek, kita harus sabar mengiris dan menunggu irisan singkong tersebut mengeras dibawah terik matahari. Ini menandakan bahwa dengan kesabaran, seseorang akan menjadi kuat. Kemudian singkong tersebut di tumbuk, menandakan bahwa sekeras apapun tindasan yang ditimpakan kepada umat Islam, kita dapat bangkit menjadi sesuat yang bermanfaat bagi masyarakat. Islam mengajarkan kita ikhlas berkorban. Maka dari itu, para Ulama dan santri ditakuti oleh para penjajah.
Mendengar penuturan sang kakek, Mark dan Angelo hanya mengerjap bingung. Bang Karto menepuk keningnya, ia lupa bahwa yang kini tengah ia ajak bicara adalah cucunya, bukan menantunya

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Filosofi Gaplek"

Posting Komentar